When Indonesia declared its independence from the Dutch at the end of World War II, some of the strongest support for the fledgling new country came from Australia. From trade unions keeping up the boycotts on Dutch shipping, to politicians supporting Indonesia joining the United Nations, here you can find many of the personal stories of what has been a long and at times surprising friendship.
Ketika Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya dari Belanda pada akhir Perang Dunia II, beberapa dukungan terkuat sebagai negara baru yang masih muda datang dari Australia. Dari serikat pekerja yang terus memboikot perkapalan Belanda, hingga politisi yang mendukung Indonesia bergabung dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa, di sini Anda dapat menemukan banyak kisah-kisah pribadi tentang persahabatan yang telah lama terjalin dan terkadang mengejutkan.
'A fact-finding mission to Batavia'
The rapid Japanese advance into Southeast Asia and the fall of ‘fortress Singapore’ in 1942 led to Australian political leaders realising they could no longer rely on Britain and that Australia now had to reach out in the region as an independent power and to make its own decisions.
When Indonesia declared independence in August 1945, the Australian diplomat William MacMahon Ball was sent by the Chifley government to what they still called ‘Batavia’ on a fact- finding mission.
Joe Isaac was a young tutor in the Department of Economics at Melbourne University in 1945 when, the senior lecturer (later Professor) in Political Science, William MacMahon Ball discovered he had written a thesis on Australian Trade with the Netherlands East Indies and had a working knowledge of Dutch and Bahasa. MacMahon Ball had been appointed by Dr Evatt, Minister for External Affairs, to lead an Australian delegation to report on the newly self-proclaimed Republic of Indonesia. He invited Joe Isaac to join him as his personal assistant and within a few days, after a short briefing stop in Canberra, they were on a round-about air-route to Indonesia.
'Misi pencari fakta ke Batavia'
Serangan cepat Jepang ke Asia Tenggara dan kejatuhan ‘benteng Singapura’ pada 1942 menyadarkan para pemimpin politik Australia bahwa mereka tidak dapat lagi mengandalkan Inggris dan bahwa Australia kini harus berkiprah di kawasan sebagai kekuatan independen serta membuat aneka keputusan sendiri.
Saat Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya pada Agustus 1945, diplomat Australia William MacMahon Ball dikirim oleh pemerintah Chifley ke kota yang yang masih bernama ‘Batavia’ untuk suatu misi pencari fakta.
Joe Isaac adalah dosen muda di Fakultas Ekonomi, Universitas Melbourne, pada 1945 saat dosen senior (di kemudian hari Profesor) Ilmu Politik, William MacMahon Ball menyadari bahwa beliau telah menulis tesis tentang Perdagangan Australia dengan Hindia Belanda dan cukup menguasai bahasa Belanda dan Indonesia. MacMahon Ball ditunjuk oleh Dr Evatt, Menteri Luar Negeri, untuk memimpin delegasi Australia guna membuat laporan tentang Republik Indonesia yang baru saja mendeklarasikan kemerdekaannya. Beliau mengajak Joe Isaac untuk bergabung sebagai asisten pribadinya dan hanya dalam beberapa hari, setelah singgah sebentar untuk brifing di Canberra, mereka berputar terbang ke Indonesia.

Joe Isaac at university graduation in the late 1930s. Photograph courtesy of Graeme Isaac
Joe Isaac di wisuda universitas pada akhir 1930an. Foto oleh Graeme Isaac
'A sense of equality'
Molly Warner was a pioneering Australian advocate for Indonesian Independence at a time when men dominated politics. Molly’s work as an organiser, a journalist, and translator had a great impact both within Indonesia and in exposing Indonesian independence to the world.
As Molly said, recalling a meeting with two Indonesian nationalists on the eve of Indonesian Independence, “it was this matter of a sense of equality that captured my imagination”.
In 1945 Molly became involved in the Australia-Indonesia Association and met and then married Mohammed Bondan, an ex-Digul prisoner who had been brought to Australia with the Dutch Government in Exile. In September 1945 Molly and Mohammed Bondan moved to Brisbane to set up CENKIM – The Central Committee for Indonesian Intelligence. Here, Molly monitored radio broadcasts from the Republican government and circulated press releases. In 1947, Molly and Bondan flew to Yogyakarta, where Molly dedicated her life to the Indonesian revolution. Initially working for Radio Republik Indonesia, Molly later presented Indonesian news in English at the Ministries of Information and Foreign Affairs. Throughout the 1950s she then travelled with President Sukarno as an English speech writer and press secretary.
The story of Indonesian independence is often told as if only men took part – yet there were many women like Molly Bondan involved.
'Rasa kesetaraan'
Molly Warner merintis advokasi Australia untuk Kemerdekaan Indonesia pada waktu pria mendominasi politik. Karya Molly sebagai organisator, jurnalis, dan penerjemah berdampak besar baik di Indonesia maupun dalam memberikan paparan kemerdekaan Indonesia ke dunia.
Sebagaimana Molly ucapkan, mengenang kembali pertemuannya dengan dua pejuang nasionalis Indonesia pada malam Kemerdekaan Indonesia, “rasa kesetaraan itulah yang muncul dalam benak saya”.
Pada 1945 Molly berkiprah di Asosiasi Australia-Indonesia serta bertemu dan kemudian menikah dengan Mohamad Bondan mantan tahanan Digul yang dibawa ke Australia oleh Pemerintah Belanda dalam Pengasingan. Pada September 1945 Molly dan Mohamad Bondan pindah ke Brisbane untuk mendirikan CENKIM – The Central Committee for Indonesian Intelligence (Komite Pusat Intelijen Indonesia). Di sini, Molly memonitor aneka siaran radio dari pemerintah Republik dan mengedarkan beragam siaran pers. Pada 1947, Molly dan Bondan terbang ke Yogyakarta, di mana Molly mendedikasikan hidupnya untuk revolusi Indonesia. Pada awalnya bekerja untuk Radio Republik Indonesia, Molly kemudian menyiarkan berita Indonesia dalam bahasa Inggris di Kementerian Informasi dan Luar Negeri. Sepanjang 1950an beliau melakukan perjalanan dengan Presiden Sukarno sebagai penulis pidato dalam bahasa Inggris dan sekretaris pers.
Kisah kemerdekaan Indonesian sering diceritakan seakan-akan hanya pria yang ambil bagian – pada kenyataannya banyak perempuan seperti Molly Bondan yang terlibat.

Molly and Mohamad Bondan in Indonesia some years after their marriage. From In Love with a Nation: Molly Bondan and Indonesia
Molly dan Mohamad Bondan di Indonesia beberapa tahun setelah pernikahan mereka. Dari In Love with a Nation: Molly Bondan and Indonesia
'Shot down by the Dutch'
Another Australian assisting the independence movement was Noel Constantine – a highly decorated Royal Air Force (RAF) pilot who had fought in the Battle of Britain and lead Spitfire squadrons against the Japanese Air Force in Burma. In December 1946, Constantine left the RAF and returned to Australia where he began flying medical supply missions from Singapore to Indonesia. On the 29th of July 1947 he was flying an Indian C-47 transport plane to Maguwo near Yogyakarta.
Earlier the same day, the fledgling Indonesian airforce Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) had launched a counter-attack against the Dutch armed forces and the Dutch retaliated by strafing Yogyakarta. Noel Constantine was piloting his transport plane into this conflict zone when it was shot down by a Dutch Kittyhawk aircraft just before landing. One eye-witness described it as a ‘cowardly and brutal’ attack on a defenceless aircraft. Only one passenger survived and Constantine, his wife Beryl, three AURI officers and the British co-pilot Roy Hazlehurst were all killed.
The three AURI men A. Adisutjipto, A. Saleh and P. Adisumarno were senior officers and have had airports named after them in Yogyakarta, Malang and Surakarta, and the 29th of July was later declared as ‘Indonesian Air Force Dedication Day’. The Constantines and Hazlehurst were buried in a cemetery at Yogyakarta, for many years forgotten in the drama of the struggle to uphold independence. In 2016 Michael Kramer of the Australia-Indonesia Association of New South Wales and the Constantine family erected a headstone on the previously unmarked grave.
'Ditembak jatuh oleh Belanda'
Warga Australia lain yang membantu gerakan kemerdekaan adalah Noel Constantine – pilot Angkatan Udara Inggris (RAF) penerima penghargaan tinggi yang telah berlaga di Pertempuran Inggris dan memimpin skuadron Spitfire melawan Angkatan Udara Jepang di Burma. Pada Desember 1946, Constantine keluar dari RAF dan kembali ke Australia di mana beliau mulai menerbangkan misi-misi pasokan medis dari Singapura ke Indonesia. Pada 29 Juli 1947 beliau menerbangkan pesawat angkut India C-47 ke Maguwo dekat Yogyakarta.
Pagi hari yang sama, Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) yang baru saja didirikan melakukan serangan balasan terhadap angkatan bersenjata Belanda dan Belanda membalas dengan menghujani Yogyakarta dengan peluru. Noel Constantine sedang menerbangkan pesawat angkutnya ke zona pertikaian saat ditembak jatuh oleh pesawat Kittyhawk Belanda beberapa saat sebelum mendarat. Seorang saksi mata menggambarkannya sebagai serangan ‘pengecut dan brutal’ pada pesawat tanpa pertahanan. Hanya seorang penumpang yang selamat sementara Constantine, istrinya Beryl, tiga perwira AURI serta kopilot Inggris Roy Hazlehurst gugur semua.
Ketiga anggota AURI A. Adisutjipto, A. Saleh dan P. Adisumarno adalah perwira senior dan nama-nama mereka diabadikan untuk bandar udara di Yogyakarta, Malang and Surakarta, dan 29 Juli kemudian dijadikan ‘Hari Bakti TNI Angkatan Udara’. Keluarga Constantines dan Hazlehurst dimakamkan di Yogyakarta, selama bertahun-tahun terlupakan dalam drama perang kemerdekaan. Pada 2016 Michael Kramer dari Asosiasi Australia-Indonesia New South Wales dan keluarga Constantine membangun nisan di makam yang sebelumnya tak bernama.

Five spitfire pilots from No. 136 Squadron RAF and RAAF after shooting down 15 Japanese aircraft in one day in 1944. Squadron Leader Noel Constantine is seated on the wing of his aircraft. Image: Private collection of Noel and Geoff Constantine, and Interservices Public Relations Directorate, India, Pen 547.
Lima pilot spitfire dari Skuadron 136 RAF (Angkatan Udara Inggris) dan RAAF (Angkatan Udara Australia) setelah menembak jatuh 15 pesawat terbang Jepang dalam satu hari pada 1944. Ketua Skuadron Noel Constantine duduk di sayap pesawat terbangnya. Foto: Koleksi pribadi Noel dan Geoff Constantine, dan Direktorat Hubungan Masyarakat Antar- Jawatan, India, Pen 547.
'Australia's First Ambassador to Indonesia'
After they had lost international support in their colonial aims in Indonesia the Dutch agreed to transfer most of their former colony to the Indonesian government in late 1949. In August 1950 the Indonesian Legislature defined the nation’s system of government and very soon after, relations between Australia and Indonesia expanded rapidly. A range of cultural and exchange visits occurred and ambassadors were appointed to both countries. In April 1950, the Consulate-General in Jakarta was raised to the status of an embassy with the first Australian Ambassador to Indonesia, John Hood.
John Douglas Lloyd Hood was a journalist who had joined the Australian Department of External Affairs in 1936. After a period in various foreign affairs roles and at the United Nations he was appointed Australia’s first Ambassador to Indonesia. The role was considered an important one tasked with assisting the new nation through the ‘growing pains of nationhood’.
Hood was then appointed Ambassador to Germany in late 1952 and continued with a distinguished diplomatic career until 1964.
'Duta Besar Australia Pertama ke Indonesia'
Setelah kehilangan dukungan internasional berkenaan dengan tujuan-tujuan kolonial mereka di Indonesia Belanda sepakat untuk mengalihkan sebagian besar bekas koloni mereka ke pemerintah Indonesia pada akhir 1949. Pada Agustus 1950 badan legislatif Indonesia mendefinisikan sistem pemerintahan bangsanya dan segera setelahnya, hubungan antara Australia dan Indonesia berkembang dengan cepat. Sejumlah kunjungan budaya dan pertukaran diselenggarakan dan duta besar ditunjuk ke kedua negara. Pada April 1950, Konsulat Jenderal di Jakarta ditingkatkan statusnya menjadi kedutaan besar dengan Duta Besar Australia perdana ke Indonesia, John Hood.
John Douglas Lloyd Hood adalah seorang jurnalis yang bergabung dengan Departemen Luar Negeri Australia pada 1936. Setelah suatu periode yang penuh dengan aneka peran luar negeri dan di Perserikatan Bangsa-Bangsa beliau ditunjuk sebagai duta besar Australia yang perdana ke Indonesia. Peran ini dipandang penting dengan tugas membantu bangsa yang baru ini untuk melewati ‘pancaroba berkebangsaan’.
Hood kemudian ditunjuk sebagai Duta Besar ke Jerman pada akhir 1952 dan melanjutkan karir diplomatiknya dengan cemerlang hingga 1964.

A press release for the appointment of John Douglas Lloyd Hood as Australia’s first Ambassador to Indonesia, April 1950
Siaran pers penunjukan John Douglas Lloyd Hood sebagai Duta Besar Australia pertama ke Indonesia, April 1950
'Australian military observers'
The first peacekeepers ever to serve under United Nations auspices were Australian military observers sent to Indonesia in 1947, at the request of Indonesia. After the Dutch launched the first of their so-called ‘police actions’ to recapture Indonesian-held territory, Australia referred the matter to the United Nations Security Council – another history-making moment as the first case referred to the UN for resolution.
The United Nations Security Council then established a Good Offices Committee to sponsor further negotiations between the Dutch and Indonesia and in September 1947 Australia was nominated by the Indonesian Republican government as its representative on the Committee.
Australians Justice Richard Kirby and then Tom Critchley worked hard to make the Renville Truce Agreement of January 1948 fair to the Republic. After the truce was agreed on 17 January 1948 the Republic accepted Critchley’s plan as a basis for negotiation, but the Netherlands did not. Despite Critchley’s comprehensive plan to break the deadlock, the Dutch again broke off negotiations and launched a second military offensive against the Republic in December 1948.
Australia played an important part in the work of the Good Office Committee and in the negotiations leading to the recognition of Indonesia’s independence in December 1949. The nomination of Australia by Indonesia to the committee showed the high level of official confidence of the Indonesian Republic in Australian influence.
'Pengamat militer Australia'
Penjaga perdamaian pertama yang bertugas di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah para pengamat militer Australia yang dikirim ke Indonesia pada 1947, atas permintaan Indonesia. Setelah Belanda meluncurkan apa yang disebut sebagai ‘aksi kepolisian’ yang pertama untuk kembali merebut wilayah yang dikuasai oleh Indonesia, Australia merujuk permasalahan ini ke Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa – momen bersejarah lainnya sebagai kasus pertama yang dirujuk ke PBB untuk resolusi.
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa kemudian mendirikan Komite Jasa Baik untuk mensponsori lebih lanjut sejumlah perundingan antara Belanda dan Indonesia dan pada September 1947 Australia dinominasikan oleh pemerintah Republiken Indonesia sebagai perwakilan di Komite tersebut.
Hakim Agung Australia Richard Kirby dan kemudian Tom Critchley bekerja keras untuk membuat Perjanjian Genjatan Senjata Renville pada Januari 1948 adil bagi Republik. Setelah gencatan senjata disepakati pada 17 Januari 1948 Republik menerima rencana Critchley sebagai dasar perundingan, namun tidak demikian dengan Belanda. Walaupun rencana menyeluruh Critchley dirancang untuk memecahkan kebuntuan, Belanda kembali meninggalkan perundingan dan melancarkan agresi militer kedua melawan Republik pada Desember 1948.
Australia memainkan peran penting dalam karya Komisi Jasa Baik dan dalam sejumlah perundingan yang mengarah pada pengakuan kemerdekaan Indonesia pada Desember 1949. Nominasi Australia oleh Indonesia untuk komite tersebut memperlihatkan kepercayaan resmi tingkat tinggi Republik Indonesia pada pengaruh Australia.

Australian military observers being welcomed by Republican officers in Yogyakarta on 14 September 1947. National Library of Australia.
Para pengamat militer Australia disambut oleh para perwira Republiken di Yogyakarta pada 14 September 1947. National Library of Australia.

'Pidato duta besar Australia di depan presiden soekarno' Yang Mulia, Dengan perasaan sangat terhormat yang diberikan kepada Pemerintah saya dan diri saya sendiri bahwa saya hari ini memiliki kesempatan untuk menyerahkan surat-surat kepercayaan dari Yang Mulia Raja, yang telah menunjuk saya sebagai Duta Besar Australia untuk Republik Indonesia Serikat. Kehormatannya ganda, yakni penunjukan diri saya, dan juga penunjukan Duta Besar Republik Serikat Indonesia untuk Australia, yang pemerintah saya nantikan untuk sambut pada waktu dekat, menandai pembukaan hubungan diplomatik tingkat tinggi antar kedua negara kita. Pada kesempatan yang baik ini saya dipercayakan oleh Pemerintah Persemakmuran Australia untuk menyampaikan kepada Anda salam persahabatan Australia yang sangat tulus kepada Yang Mulia sendiri, dan untuk Pemerintah serta rakyat Indonesia. Rakyat Australia telah menyaksikan dengan perhatian dan simpati yang mendalam atas segala upaya yang telah mengarah pada pendirian bangsa Indonesia yang berdaulat. Saya tidak perlu mengingatkan anda tentang kejadian-kejadian di mana Pemerintah Australia mendapat kehormatan untuk memberi dukungan terhadap upaya-upaya ini. Hasilnya tidak hanya telah membawa kita menjadi tetangga yang akrab dengan siapa kesejahteraan dan kemajuannya kami rasakan terikat sangat erat, namun juga memberi kami suatu persahabatan baru dan lestari.

Pemerintah saya percaya dengan penuh keyakinan bahwa kedua negara kita dari awal hubungan diplomatik ini kita akan bekerja sama dengan saling penuh keterbukaan, pemahaman dan kehendak baik. Dalam penyelesaian masalah-masalah bersama kita, Pemerintah saya akan mendasarkan diri pada persahabatan fundamental dan dengan perasaan, bangsa baru yang Yang Mulia wakili; sementara dalam hal kepentingan bersama kita dalam aneka urusan di kawasan dunia ini secara umum, kami mencari peluang sebanyak-banyaknya dan secara terus-menerus untuk menggalang kerja sama pada tingkat praktis dengan sasaran memajukan kesejahteraan dan stabilitas seluruh Asia Tenggara. Dalam menyerahkan surat kepercayaan saya, saya memperoleh kehormatan untuk menjamin Yang Mulia bahwa pada segala permasalahan ini anda dapat mengandalkan kehendak baik yang kuat dari Pemerintah dan rakyat Australia, sementara secara pribadi saya menantikan persahabatan saya dengan anggota-anggota Pemerintah anda sebagai privilese tinggi.
'A change in outlook and policy'
Between 1947 and 1949 Australian and Indonesian cooperation and connections had grown strongly and by 1949 the Chifley government came to the conclusion that Australia needed a ‘permanent reorientation’ of ‘outlook and policy’ towards Indonesia as part of promoting stability in the region.
However in December 1949 the Chifley government was replaced by the conservative Menzies government. This saw a major policy shift that sought to uphold Britain and France as colonial powers in Malaysia and Vietnam. From the early 1950s, Australia’s early promising relations with Indonesia began to weaken.
Before relations cooled however, Australia co-sponsored Indonesia’s admission to the United Nations. On 28 September 1950, the Republic of Indonesia became the 60th member of the UN.
'Perubahan pandangan dan kebijakan'
Pada 1947 - 1949 kerja sama dan hubungan Australia dengan Indonesia berkembang pesat dan pada 1949 pemerintah Chifley mengambil kesimpulan bahwa Australia memerlukan
‘reorientasi permanen’ atas ‘pandangan dan kebijakan’ terhadap Indonesia sebagai bagian dari upaya memajukan stabilitas di kawasan.
Namun demikian pada Desember 1949 pemerintah Chifley diganti oleh pemerintah Menzies yang konservatif. Ini berakibat pada perubahan kebijakan besar-besaran yang berupaya untuk menegakkan Inggris dan Prancis sebagai kekuatan kolonial di Malaysia dan Vietnam. Sejak awal 1950an, hubungan awal yang menjanjikan antara Australia dan Indonesia mulai melemah.
Namun demikian sebelum hubungan tersebut mendingin, Australia bertindak sebagai sponsor-bersama keanggotaan Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pada 28 September 1950, Republik Indonesia menjadi anggota PBB yang ke-60.

Tom Critchley meets President Sukarno in Yogyakarta, 7 December 1948
Tom Critchley bertemu Presiden Sukarno di Yogyakarta, 7 Desember 1948
'An Australian war artist in Indonesia'
The following images were drawn by Australian artist and cartoonist Tony Rafty. During World War II, Rafty served as a war artist and journalist for the Australian Army in New Guinea, Borneo and Singapore. He sketched the surrender of the Japanese in Singapore, and covered the release of Prisoners of war from various prison camps, including the Batu Lintang camp in Kuching, Sarawak.
Rafty completed many sketches of war action including a memorable one of Lord Louis Mountbatten. He was then tasked with covering the Indonesian struggle to uphold independence, during which time he sketched and became friends with President Sukarno.
Rafty produced a huge number of works during his time in Indonesia and many are now in collections in the National Library of Australia, the Australian War Memorial and the Imperial War Museum in London.
'Seniman perang Australia di Indonesia'
Lukisan-lukisan berikut ini dibuat oleh seniman dan kartunis Australia Tony Rafty. Selama Perang Dunia II, Rafty bertugas sebagai seniman dan jurnalis perang untuk Angkatan Darat Australia di Nugini, Kalimantan dan Singapura. Beliau melukis penyerahan Jepang di Singapura, dan meliput pembebasan Tawanan perang dari sejumlah kamp penjara, termasuk kamp Batu Lintang di Kuching, Sarawak.
Rafty merampungkan banyak lukisan aksi perang termasuk yang berkesan tentang Lord Louis Mountbatten. Beliau kemudian ditugaskan untuk meliput perang kemerdekaan Indonesia, pada waktu itulah beliau melukis dan bersahabat dengan Presiden Sukarno.
Rafty menghasilkan banyak sekali karya selama tinggal di Indonesia dan banyak di antaranya kini menjadi koleksi di National Library of Australia, Australian War Memorial dan Imperial War Museum di London.

Tony Rafty standing between his daughter Juliet and former Ambassador Tom Critchley, Jakarta, Indonesia, March 1980. National Library of Australia
Tony Rafty berdiri di antara anak perempuannya Juliet dan mantan Duta Besar Tom Critchley, Jakarta, Indonesia, Maret 1980. National Library of Australia

Pro-independence Indonesian soldiers and militia fought British and British Indian troops during the Battle of Surabaya – the biggest battle of the revolution. The British and British Indian troops had Sherman and Stuart tanks while the revolutionaries fought with guns and makeshift weapons.
Tank in Surabaya by Tony Rafty, 1945. National Library of Australia, nla.obj-135850231, courtesy Andrew Rafty
Tentara dan milisi pro-kemerdekaan Indonesia bertempur melawan tentara Inggris dan India Inggris selama Pertempuran Surabaya – pertempuran terbesar revolusi. Tentara Inggris dan India Inggris memiliki tank Sherman dan Stuart sementara kaum revolusioner bertempur dengan senjata api dan senjata rakitan.
Tank di Surabaya oleh Tony Rafty, 1945. National Library of Australia, nla.obj-135850231, dengan izin dari Andrew Rafty
![Soerabaya [i.e. Surabaya] docks by Tony Rafty. National Library of Australia Soerabaya [i.e. Surabaya] docks by Tony Rafty. National Library of Australia](/-/media/anmm/images/whats-on/exhibitions/two-nations/carousel/an8418229_1000.jpg?la=en)
As the revolution kicked off, the British Royal Navy used the docks at Surabaya to evacuate Dutch, Asian and European civilians to Singapore.
Soerabaya [i.e. Surabaya] docks by Tony Rafty, 1945. National Library of Australia, nla.obj-135850550, courtesy Andrew Rafty
Seiring pecahnya revolusi, Angkatan Laut Kerajaan menggunakan dermaga di Surabaya untuk mengevakuasi warga sipil Belanda, Asia dan Eropa ke Singapura.
Dermaga Soerabaya [Surabaya] oleh Tony Rafty. National Library of Australia, nla.obj-135850550, dengan izin dari Andrew Rafty

The British and British Indian troops captured most of the city of Surabaya in a few days but the revolutionaries continued to fight for three weeks. Their resistance inspired Indonesia to fight for independence.
Surabaya street fighting by Tony Rafty, 1945. National Library of Australia, nla.obj-135833827, courtesy Andrew Rafty
Tentara Inggris dan India Inggris menguasai sebagian besar kota Surabaya dalam beberapa hari namun kaum revolusioner terus bertempur selama tiga minggu. Perlawanan mereka menginspirasi Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan.
Pertempuran jalanan di Surabaya oleh Tony Rafty, 1945. National Library of Australia, nla.obj-135833827, dengan izin dari Andrew Rafty

The Battle of Surabaya was fought between Colonia and Indonesian forces. On the Indonesian side were around 20,000 Indonesian soldiers and 100,000 militia – mainly young people. On the opposing side was a force made up of British and Indian troops.
Fifth Division Indian troops unloading supplies in Surabaya by Tony Rafty, 1945. National Library of Australia, nla.obj-135835412, courtesy Andrew Rafty
Pertempuran Surabaya merupakan pertempuran antara pasukan Kolonial dan Indonesia. Di pihak Indonesia ada sekitar 20.000 tentara dan 100.000 milisi Indonesia – sebagian besar pemuda. Di pihak lawan adalah pasukan yang terdiri dari tentara Inggris dan India.
Divisi Lima tentara India menurunkan pasokan di Surabaya oleh Tony Rafty, 1945. National Library of Australia, nla.obj-135835412, dengan izin dari Andrew Rafty

Sutan Syahrir was a revolutionary independence leader. He became the first prime minister of Indonesia in 1945.
Portrait of Sutan Syahrir by Tony Rafty, 1945. National Library of Australia nla.obj-135598812, courtesy Andrew Rafty
Sutan Syahrir adalah pemimpin revolusi kemerdekaan. Beliau menjadi perdana menteri Indonesia pertama pada 1945.
Potret Sutan Syahrir oleh Tony Rafty, 1945. National Library of Australia nla.obj-135598812, dengan izin dari Andrew Rafty
'Goodwill towards these people'
William MacMahon Ball had twice acted as an ‘intermittent diplomat’ but in 1948 the Chifley Government decided a more formal ‘goodwill mission’ across South East Asia was required. Armed with letters to both Indonesian and Dutch officials from the Minister for External Affairs H V Evatt, MacMahon Ball toured 13 cities including Surabaya, Jakarta and Yogyakarta in Indonesia.
The mission was welcomed in Indonesia as the first such visit to the new republic by a foreign government representative, and before the recognition of Indonesia by the wider international community. The Republican radio praised the Chifley government for its support and told Indonesians this had secured Australia a high regard throughout Asia, calling the Australian government and its peoples ‘neither bound by tradition nor habit of mind’ and ‘progressive’. The mission of 1948 was of great importance to the Indonesian Republic as an act of international recognition and support.
The mission was born from a growing understanding the period of colonialism across Asia was coming to a close. MacMahon Ball identified technical, education and humanitarian aid assistance to the emerging new states in Asia as a way to promote Australia’s ‘goodwill’ and assist the region to develop. A major problem for Australia was that while the Chifley government was eager to work with emerging South East Asian nations, they also did not want to alienate the old colonial powers or the United States. The mission was also undermined by the contradiction of Australian assistance to Asia at the same time as a ‘White Australia’ immigration policy.
'Kehendak baik kepada warga'
William MacMahon Ball dua kali bertindak sebagai ‘diplomat tempo-tempo’ namun pada 1948 Pemerintah Chifley memutuskan diperlukan ‘misi kehendak baik’ yang lebih formal di seluruh Asia Tenggara. Dibekali dengan surat yang ditujukan kepada baik pejabat Indonesia maupun Belanda dari Menteri Luar Negeri H V Evatt, MacMahon Ball melakukan perjalanan keliling ke 13 kota termasuk Surabaya, Jakarta dan Yogyakarta di Indonesia.
Misi ini disambut baik di Indonesia sebagai kunjungan pertama ke republik baru oleh perwakilan pemerintah asing, dan sebelum pengakuan Indonesia oleh masyarakat internasional yang lebih luas. Radio Republiken memuji pemerintah Chifley atas dukungannya dan menceritakan kepada warga Indonesia bahwa hal ini telah membuat Australia pantas memperoleh penghargaan yang tinggi di seluruh Asia, serta menyatakan bahwa pemerintah Australia dan warganya ‘tidak terikat oleh baik tradisi maupun kebiasaan berpikir’ serta ‘progresif’. Misi 1948 sangat penting bagi Republik Indonesia sebagai aksi pengakuan dan dukungan internasional.
Misi ini lahir dari meningkatnya pemahaman bahwa periode kolonialisme di seluruh Asia akan segera berakhir. MacMahon Ball mengidentifikasi bantuan teknik, pendidikan dan kemanusiaan kepada negara-negara baru yang sedang muncul di Asia sebagai cara untuk memajukan ‘kehendak baik’ Australia dan membantu kawasan untuk berkembang. Masalah utama bagi Australia adalah walau pemerintah berhasrat untuk menggalang kerja sama dengan bangsa-bangsa Asia Tenggara yang sedang muncul, mereka juga tidak ingin mengasingkan kekuatan-kekuatan kolonial lama atau Amerika Serikat. Misi ini juga dirongrong oleh kontradiksi bantuan Australia kepada Asia yang bersamaan dengan kebijakan imigrasi ‘Australia Putih’.
There are many more stories of the personal involvement of Indonesians and Australians during this period. Dive into the Discover More page below for some more detailed accounts and further reading suggestions.
Masih banyak lagi cerita tentang keterlibatan individu warga negara Indonesia dan Australia selama periode ini. Jelajahi halaman ‘Discover More’ di bawah ini untuk beberapa artikel yang lebih detail dan saran bacaan lebih lanjut.
