TWO NATIONS
Main graphic for Black Armada

Australia and Indonesia 1945–1949

Two Nations

Learn about Australia's role during Indonesia's struggle for independence in this virtual exhibition

On 17 August 1945, Indonesia declared its independence as a nation. Learn more about Australia’s role during the Indonesian independence struggle and the so-called 'Black Armada'.

Pada 17 Agustus 1945, Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya sebagai sebuah bangsa. Pelajari lebih lanjut tentang peran Australia selama masa perjuangan kemerdekaan Indonesia dan apa yang disebut 'Armada Hitam'.

From the initial actions of maritime workers who boycotted Dutch ships returning to re-colonise Indonesia after World War II, to Australia co-sponsoring the admission of Indonesia to the United Nations in 1950, the bonds between the two nations were both personal and political. This is also the story of Indonesians who came to Australia during World War II and met and married Australians such as Anton and Charlotte Marmaris. 

The online exhibition highlights the stories of a period where Indonesia’s first Prime Minister addressed Australians in a speech in 1945 saying ‘you are all my friends’. The exhibition contains historical images, videos and documents sourced from the Australian National Maritime Museum and other archives and collections, as well as personal accounts and research by historians.

Two Nations – A Friendship is Born will be a valuable, accessible and lasting online resource for all – both Indonesians and Australians – to understand an important period of shared histories. 

 

Dimulai dari aksi awal para pekerja maritim yang memboikot kapal-kapal Belanda yang kembali untuk menjajah Indonesia setelah Perang Dunia II, hingga Australia yang ikut mensponsori masuknya Indonesia ke Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1950, ikatan kedua negara bersifat pribadi dan politis. Ini juga berisi kisah orang Indonesia yang datang ke Australia selama Perang Dunia II dan bertemu serta menikah dengan orang Australia seperti Anton dan Charlotte Marmaris.

Pameran daring ini menyoroti kisah-kisah pada periode di mana Perdana Menteri pertama Indonesia berbicara kepada warga Australia dalam pidatonya pada tahun 1945 dengan mengatakan 'Anda semua adalah teman saya'. Pameran ini berisi gambar sejarah, video dan dokumen yang bersumber dari Museum Maritim Nasional Australia dan arsip dan koleksi lainnya, serta catatan pribadi dan penelitian oleh sejarawan.

Two Nations: A Friendship is Born akan menjadi sumber daya daring yang berharga, dapat diakses, dan bertahan lama bagi semua - baik warga Indonesia maupun Australia - untuk memahami periode penting dari sejarah bersama.

Black Armada

Australian support in upholding Indonesian independence


Indonesia declared independence on 17 August 1945. The brief wartime occupation by the Japanese had ended. 

The Dutch had controlled Indonesia for over 300 years before this and wanted to return to their colony of the Netherlands East Indies. They had ships loaded with military arms and personnel ready in Australian ports.  

But from September 1945 hundreds of Dutch ships became the target of boycotts by Australian maritime workers and were prevented or delayed from returning to Indonesia. 

The boycotts were called ‘black bans’ and the Dutch ships were later described as a Black Armada. 

This was a significant moment for the Indonesian struggle for independence. Australian support for Indonesia grew beyond the labour movement and the Australian government ultimately led the way in international recognition of an independent Indonesia. 

This exhibition outlines Australian support for the Indonesian Republic between 1945 and 1949. This period of strong connections between Australia and Indonesia has often been forgotten in both nations since.

Hitam Armada

Dukungan Australia dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia 


Deklarasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 mengakhiri penjajahan singkat Jepang. 

Sebelumnya Belanda telah menjajah Indonesia lebih dari 300 tahun dan ingin kembali ke tanah jajahan mereka Hindia Belanda. Belanda telah memuat kapal mereka dengan persenjataan dan pasukan di pelabuhan – pelabuhan Australia. 

Namun sejak September 1945 ratusan kapal Belanda menjadi sasaran boikot oleh para pekerja maritim Australia dan dicegah atau dihalang-halangi untuk kembali ke Indonesia. 

Boikot ini diberi nama ‘larangan hitam’ dan kapal-kapal Belanda kemudian digambarkan sebagai Armada Hitam. 

Ini merupakan saat yang penting bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dukungan Australia kepada Indonesia berkembang melampaui gerakan buruh, dan Pemerintah Australia pada akhirnya berada di barisan depan pengakuan internasional atas kemerdekaan Indonesia. 

Pameran ini secara garis besar menjelaskan dukungan Australia kepada Republik Indonesia antara tahun 1945 – 1949. Periode menguatnya hubungan antara Indonesia dan Australia sejak masa itu sering dilupakan oleh kedua bangsa.

Over 500 Dutch vessels were affected – Karel Doorman (aircraft carrier); Groningen, Limburg, Piet Hein (destroyers); K 15, an unidentified submarine; RP-105, RP-106, RP-107 and four other unidentified submarine chasers; Ambon, Banda, Batan, Boeroe, Ceram, Morotai, Ternate, Tidore (corvettes); Moreton Bay, Stirling Castle (troopships); Bungaree (sloop); Kanimbla (auxiliary transport); Manoora (auxiliary cruiser); Balikpapan, Bonaire, Bontekoe, Both, Cawra, Curacao, El Liberatador, Fort Renselaar, General Verspijck, Grootekerk, Janssens, Japara, Karsik, Khoen Hoea, Kota Gedeh, Maetsuycker, Merak, Minjak Tanah, Nieuw Holland, Pahud, Patras, Roepat, Stagen, Straat Malakka, Swartenhondt, Tarakan, Tasman, Tjibesar, Tjikampek, Tosari, Van Der Lin, Van Den Bosch, Van Huetz, Van Outhoorn, Van Spilbergen, Wewak (merchant ships); Ceronia (tanker), an unidentified tanker; Chelmer (motor-lighter); Hampshire (tug); Plym (motor launch); 32 barges and 450 small vessels for shipment or towage.

'An embargo on all ships' 

In August 1945 in the Sydney suburb of Woolloomooloo a group of Indonesians crowded around a short-wave radio set in the Indonesian Seamen’s Union offices. They were monitoring every word from Batavia Radio. When news was broadcast announcing the proclamation of Indonesian independence on 17 August, they were ecstatic. 

At the end of World War II, the declaration made little impact in world news, so the radio broadcast was critical.  Twenty-year- old Tukliwon was a sailor on one of the Dutch ships that had fled to Australia following the Japanese invasion in 1942. He had worked on Sydney Harbour ferries during the war. The day after he heard the proclamation broadcast, he walked across the city to inform the Seamen’s Union of Australia, which promised its support. 

A few days later Tukliwon and his fellow seamen were told the Dutch wanted their Indonesian crews to take ships back to Java. They decided to refuse. The Australian Seamen’s Union called on members for ‘an embargo on all ships carrying munitions or any other materials to be used against the Indonesian Government’.

‘Embargo semua kapal’ 

Pada Agustus 1945 di luar kota Sydney, Woolloomooloo, sekelompok warga Indonesia berkerumun mengitari radio gelombang-pendek di kantor Serikat Buruh Pelaut Indonesia. Mereka memonitor setiap kata dari Radio Batavia. Ketika berita disiarkan untuk mengumumkan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus, mereka menari-nari gembira. 

Pada akhir Perang Dunia II, deklarasi tersebut berdampak kecil di berita dunia, sehingga siaran radio sangat penting.  Tukliwon adalah pelaut berusia dua puluh tahun di salah satu kapal Belanda yang melarikan diri ke Australia setelah serangan Jepang pada 1942. Ia bekerja di feri Pelabuhan Sydney selama perang. Sehari setelah ia mendengar siaran proklamasi tersebut, ia berjalan ke kota untuk memberitahu Serikat Buruh Pelaut Australia, yang menjanjikan dukungan mereka. 

Beberapa hari kemudian Tukliwon dan rekan-rekan pelautnya diberitahu tahu bahwa Belanda menginginkan para awak kapal Indonesia untuk membawa kapal-kapal tersebut kembali ke Jawa. Mereka memutuskan untuk menolak. Serikat Buruh Pelaut Australia meminta para anggotanya untuk menerapkan 
“embargo pada semua kapal yang membawa amunisi atau bahan-bahan lain yang digunakan untuk melawan Pemerintah Indonesia’.

SS Moreton Bay was one of the vessels chartered by the Dutch government in exile that was affected by the waterside workers black bans. ANMM Collection

SS Moreton Bay was one of the vessels chartered by the Dutch government-in-exile that was affected by the waterside workers black bans. ANMM Collection

SS Moreton Bay merupakan salah satu kapal yang disewa oleh Pemerintah Belanda yang terkena dampak larangan hitam. Koleksi ANMM

'Everything Dutch is black' 

By 24 September 1945 a boycott of Dutch shipping was in place in Brisbane and Sydney, spreading to Melbourne and Fremantle. It quickly extended to other related maritime industry unions.

In Brisbane, the Dutch vessel Van Heutz, loaded with Netherlands Indies government officials, troops and arms, was unable to leave port. Eventually, without tug boats, little coal and few supplies, Van Heutz limped from Brisbane towards Java. 

A similar situation occurred with the Karsik – loaded with Dutch money for the returning administration – and Merak in 
Melbourne, both unable to find coal in Australian ports. On 28 September waterside workers in Sydney, carrying 
‘Hands off Indonesia’ banners, led a demonstration outside Dutch shipping companies and diplomatic offices. By October, the actions had escalated. The Trades and Labor Council issued a leaflet with instructions to unionists:

Dutch soldiers and officers should not get transport. No Dutch munitions should be touched. Repairs on Dutch ships, etc., must not be done. Dutch ships must not get coal. Tugs must not be made available to Dutch ships. Food, stores, etc., must not be provided to Dutch ships, offices, canteens or personnel. Dutch officers and seamen should not be taken to and from ships. 

In fact everything Dutch is black. 

‘Segala Sesuatu tentang Belanda adalah Hitam’ 

Pada tanggal 24 September 1945 boikot terhadap pelayaran Belanda yang telah diadakan di Brisbane dan Sydney, meluas ke Melbourne dan Fremantle. Boikot ini dengan cepat meluas ke serikat-serikat buruh industri maritim yang terkait lainnya – tukang ketel, teknisi, pekerja- besi, tukang cat kapal dan petugas dok, tukang kayu, petugas gudang, juru tulis dan awak kapal pandu. 

Di Brisbane, kapal Belanda Van Heutz, yang berisi para pejabat pemerintah, tentara dan senjata Hindia Belanda tidak dapat meninggalkan pelabuhan. Pada akhirnya,  tanpa perahu pandu, sedikit batubara dan perbekalan, Van Heutz tertatih- tatih berlayar dari Brisbane ke Jawa. 

Situasi yang mirip terjadi dengan kapal Karsik – yang bermuatan uang Belanda untuk pemerintahan yang kembali – dan kapal Merak di Melbourne, keduanya tidak dapat memperoleh batubara di pelabuhan-pelabuhan Australia. 

Pada tanggal 28 September para pekerja pelabuhan di Sydney, membawa spanduk ‘Lepaskan Indonesia’, melakukan demonstrasi di luar kantor-kantor perusahaan pelayaran dan diplomatik Belanda. Pada bulan Oktober, aksi-aksi ini semakin meningkat. Dewan Perdagangan dan Buruh mengeluarkan selebaran dengan perintah kepada para anggota serikat buruh:

Tentara dan perwira Belanda jangan diberi transportasi. Amunisi Belanda jangan disentuh. Reparasi kapal-kapal Belanda, dll., jangan dikerjakan. Kapal-kapal Belanda jangan diberi batubara. Pandu jangan diberikan kepada kapal-kapal Belanda. Makanan, perbekalan, dll., jangan diberikan kepada kapal, kantor, kantin atau personel Belanda. Para perwira dan pelaut Belanda jangan dibawa ke dan dari kapal.

Sejatinya segala sesuatu tentang Belanda adalah hitam.

Indonesian dead, Soerabaya [picture] / Tony Rafty

British forces initially supported the Dutch re-occupation of Indonesia. But after the battle for Surabaya from 27 October to 20 November 1945 – the bloodiest single engagement of the war for independence – Britain grew reluctant to be involved. The fierce resistance removed any doubts the Dutch might have had over the determination of the Indonesians. In Indonesia today, 10 November is commemorated as Heroes Day and, like Anzac Day in Australia, it honours a terrible defeat – but one that had a galvanising effect on a new nation.

Indonesian dead, Soerabaya by Tony Rafty, 1945. National Library of Australia, obj-135835788, courtesy Andrew Rafty

Pasukan Inggris pada awalnya mendukung pendudukan kembali Indonesia oleh Belanda. Namun setelah Pertempuran Surabaya pada 27 Oktober – 20 November 1945 – pertempuran paling sengit dan puluhan ribu korban dalam perang kemerdekaan – Inggris semakin enggan untuk terlibat. Perlawanan sengit menghilangkan segala keraguan yang Belanda mungkin miliki tentang kenekatan warga Indonesia. Di Indonesia saat ini, 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan dan, seperti Anzac Day di Australia, menghargai kekalahan berat – namun hal ini memperkuat bangsa yang baru. 

Indonesian dead, Soerabaya by Tony Rafty, 1945. Perpustakaan Nasional Australia. obj-135835788, dengan izin dari Andrew Rafty

 


kesopanan

Indonesia calling 

Not quite everything Dutch was ‘black listed’. A lone but significant figure was working with Indonesians to tell the world about their struggle – and support from Australians. 

Dutch film maker Joris Ivens resigned his position as Film Commissioner for the Netherlands Indies government in protest against Dutch policy. In Sydney in November 1945 he was approached by Indonesians and Australian sympathisers to make a film about the Australian events supporting the Indonesian independence struggle.  

In the film Indonesia Calling Ivens created a re-enactment of the mutiny by Indian seamen aboard the Patras, a ship laden with arms sailing for Indonesia from Sydney. Narrated by Australian actor Peter Finch, the film premiered to an audience of Indonesians in Kings Cross, Sydney, on 9 August 1946. It screened three times a day for a week, to packed houses. 

The film was also taken to Indonesia where it was shown to freedom fighters, who were delighted with such support in Australia.

 

Tidak semua yang terkait dengan Belanda ‘dimasukkan dalam daftar hitam’. Tokoh tunggal namun sangat penting bekerja sama dengan warga Indonesia untuk menceritakan kepada dunia tentang perjuangan mereka – dan dukungan dari warga Australia. 

Pembuat film Belanda Joris Ivens mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Komisaris Film untuk pemerintah Hindia Belanda sebagai protes atas kebijakan Belanda. Di Sydney pada November 1945 ia didekati oleh warga Indonesia dan para simpatisan Australia untuk membuat film tentang kegiatan- kegiatan Australia yang mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Di film Indonesia Calling Ivens membuat reka-ulang pemberontakan oleh pelaut India di atas Patras, sebuah kapal penuh dengan muatan senjata yang berlayar ke Indonesia dari Sydney. Dengan narasi oleh aktor Australia Peter Finch, film ini tayang perdana di depan warga Indonesia di Kings Cross, Sydney, pada 9 Agustus 1946. Film ini ditayangkan tiga kali per hari selama satu minggu, dengan penonton penuh sesak.

Film ini juga dibawa ke Indonesia dan diputar di depan para pejuang kemerdekaan, yang sangat gembira dengan dukungan seperti itu di Australia.

A scene from the 1946 Joris Ivens film Indonesia Calling  showing Indonesian seamen listening to a short-wave radio for news of Indonesia’s declaration of independence.

A scene from the 1946 Joris Ivens film Indonesia Calling showing Indonesian seamen listening to a short-wave radio for news of Indonesia’s declaration of independence. 

Ivens became a documentary maker of international renown with over 40 films between 1928 and 1989. Politically exiled from his homeland after the making of Indonesia Calling, he was eventually recognised for his life’s work with a knighthood in 1989 from a Dutch government then much more sympathetic to Indonesia.

National Film and Sound Archive Australia 

Adegan dari film Joris Ivens 1946 Indonesia Calling memperlihatkan pelaut-pelaut Indonesia mendengarkan berita dari radio gelombang- pendek tentang deklarasi kemerdekaan Indonesia. 

Ivens menjadi pembuat film dokumenter yang terkenal di dunia dengan lebih dari 40 film antara 1928 dan 1989. Diasingkan secara politis dari tanah airnya setelah pembuatan film Indonesia Calling, ia pada akhirnya diakui atas karya sepanjang hayatnya dengan gelar kebangsawanan pada 1989 dari pemerintah Belanda yang sudah menjadi jauh lebih simpatik kepada Indonesia. 

Arsip Film dan Suara Nasional Australia

'A boat load of trouble' 

When the cargo ship Esperance Bay left Sydney Harbour in October 1945, Sydney had never seen such a farewell. Indonesian soldiers who refused to serve the Dutch stood on 
the ship’s deck, stripped Netherlands East Indies insignia from their uniforms and threw them into the harbour. 

The Esperance Bay – labelled a ‘boat load of trouble’ by British and Dutch forces expecting its arrival in Java – was the first transportation of Indonesians back to Republican-held territory in Indonesia. It was paid for by the Australian government even though the government was still committed by treaty to the Dutch reoccupation. 

The 1,416 Indonesians on board accepted Immigration Minister Calwell’s pledge that they would be landed safely in Republican territory. Some were ex-Dutch political prisoners from the Digul River camps in Dutch New Guinea who had not seen Java in 20 years. On the docks they were showered with gifts of food and cigarettes from Australian sympathisers. As the vessel sailed down the harbour the air was full of cries ‘Merdeka!’ (Freedom!) and ‘Down with the Dutch!’ 

 'Kapal penuh dengan masalah'

Saat kapal kargo Esperance Bay meninggalkan Pelabuhan Sydney pada Oktober 1945, Sydney belum pernah menyaksikan perpisahan seperti itu. Tentara Indonesia yang menolak untuk membela Belanda berdiri di dek kapal, mencopot lambang Hindia Belanda dari seragam mereka dan membuangnya ke pelabuhan. 

Esperance Bay – disebut sebagai ‘kapal yang penuh dengan masalah’ oleh pasukan Inggris dan Belanda yang mengharap kedatangannya di Jawa – merupakan transportasi pertama warga Indonesia kembali ke wilayah Indonesia yang dikuasi oleh Republik. Dibiayai oleh pemerintah Australia walaupun masih terikat dengan traktat kembalinya kependudukan Belanda. 

1.416 warga Indonesia di atas kapal menerima janji Menteri Imigrasi Calwell bahwa mereka akan mendarat dengan selamat di wilayah Republik. Beberapa dari mereka adalah mantan tahanan politik Belanda dari penjara sungai Digul di Nugini Belanda yang sudah meninggalkan Jawa selama 20 tahun. Di dok mereka menerima banyak hadiah makanan dan rokok dari para simpatisan Australia. Saat kapal mulai berlayar dari pelabuhan, suasana penuh dengan teriakan ‘Merdeka!’ dan ‘Down with the Dutch!’

Urging a crowd of Australians to oppose Dutch re-colonisation of Indonesia at a rally in Wynyard Square, Sydney, 29 September 1945. Daily Telegraph, State Library of New South Wales

Urging a crowd of Australians to oppose Dutch re-colonisation of Indonesia at a rally in Wynyard Square, Sydney, 29 September 1945. Daily Telegraph, State Library of New South Wales

Mendesak sekerumunan warga Australia untuk menolak penjajahan- kembali Belanda atas Indonesia di suatu demonstrasi di Wynyard Square, Sydney, 29 September 1945. Daily Telegraph, Perpustakaan Negara Bagian New South Wales

 

'Freedom for Indonesia!' 

Reported graffiti by Australian soliders in Indonesia, 1946

Many Australian soldiers who remained in Indonesia after the defeat of Japan became sympathetic to the Indonesian cause. Some handed out pamphlets or assisted in distributing Republican propaganda, and may have even supplied arms. 

Letters of support were sent to the Waterside Workers Federation General Secretary James Healy:  

We of the [Armed] Services are proud of the action taken by your union and … possessing some first-hand knowledge of their people and their conditions … are sure [Indonesian] claims are reasonable. 

Meanwhile in Australia, in July 1945, the first public organisation of Australians supporting an Asian nation’s anti-colonial struggle was formed. The Australia-Indonesia Association was established to ‘foster friendly cultural, sporting, educational and trade relationships with Indonesia’. 

The Australia-Indonesia Association took inspiration from the 1941 Atlantic Charter, signed by the Allied countries including the USA and Britain, which recognised the rights of people to govern themselves. 

 ‘Kemerdekaan untuk Indonesia!’ 

Tulisan dinding yang dilaporkan oleh tentara Australia di Indonesia, 1946 

Banyak tentara Australia yang tinggal di Indonesia setelah kekalahan Jepang menjadi bersimpati dengan perjuangan Indonesia. Beberapa dari mereka membagi-bagikan pamflet atau membantu menyebarluaskan propaganda Republik, dan mungkin malah memberi senjata. 

Surat dukungan dikirim ke Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Buruh Pelabuhan Air James Healy: 

Kami Angkatan Bersenjata bangga dengan aksi yang dilakukan oleh serikat buruh anda dan … yang memiliki pengetahuan langsung tentang mereka dan kondisi mereka … yakin bahwa klaim [Indonesia] masuk akal. 

Sementara di Australia, pada Juli 1945, organisasi terbuka pertama warga Australia yang mendukung perjuangan anti- penjajahan bangsa Asia didirikan. Asosiasi Australia-Indonesia didirikan untuk ‘memupuk hubungan kebudayaan, olahraga, pendidikan dan perdagangan yang bersahabat dengan Indonesia’. 

Asosiasi Australia - Indonesia mengambil inspirasi dari Piagam Atlantik 1941, yang ditandatangani oleh negara-negara Sekutu termasuk AS dan Inggris, yang mengakui hak rakyat untuk memerintah diri mereka sendiri.  

Dutch soldier fully armed at the elert [alert] throughout the streets by Tony Rafty, c. 1945

Dutch soldier fully armed at the elert [alert] throughout the streets by Tony Rafty, c. 1945. National Library of Australia, nla.obj-135853278, courtesy Andrew Rafty

Tony Rafty was an Australian Armed Forces illustrator in New Guinea, then newspaper War Artist Correspondent in Indonesia in late 1945. Rafty became a well-known Australian newspaper cartoonist and caricaturist.

Tentara Belanda bersenjata lengkap siaga penuh di sepanjang jalan by Tony Rafty, c. 1945. Perpustakaan Nasional Australia, nla.obj-135853278, dengan izin dari Andrew Rafty

Tony Rafty adalah ilustrator Angkatan Bersenjata Australia di Nugini, lalu bergabung dengan koran War Artist Correspondent di Indonesia pada akhir 1945. Rafty menjadi kartunis dan karikaturis yang ternama di Australia.

'Our struggle in your land' 

By 1946, protests grew over the treatment of Indonesians in Dutch-run internment camps in Australia. Indonesian soldiers in the Dutch armed forces who demanded repatriation to Indonesia to join Republican forces had been rounded up and placed in prison.  

At the Casino internment camp in northern New South Wales, sympathetic Australians had tried to give Christmas gifts to Indonesian prisoners, but were refused by the Dutch guards. Some Casino residents then formed an Indonesians’ Defence Committee and demanded the camp’s closure.

In April 1946 the 480 prisoners began a demonstration. The guards fired a volley, killing one protestor and wounding another. Australian Immigration Minister Arthur Calwell threatened to remove the Dutch guards and the Dutch then agreed to repatriate the prisoners to Indonesia – at the Australian government’s expense. These soldiers became some of the most competent military officers of the new Indonesian Republic. 

Indonesian gratitude for Australian support was heartfelt. President Sukarno paid tribute to the ‘freedom-loving’ stand taken by the Australian labour movement. The Brisbane based Central Committee of Indonesian Independence wrote:

The understanding and support given us by the Australian people will never be forgotten, and we will convey this history of our struggle in your land to our countrymen at home. We hope that the friendship between our two peoples may become stronger and endure in the best interests of democracy.

 'Perjuangan kami di negeri anda’ 

Pada 1946, muncul protes atas perlakuan warga Indonesia di kamp tawanan perang Belanda di Australia. Tentara-tentara Indonesia di angkatan bersenjata Belanda yang menuntut repatriasi ke Indonesia untuk bergabung dengan pasukan Republik ditangkap dan dijebloskan ke penjara. 

Di kamp tawanan perang Casino di utara New South Wales, warga Australia yang bersimpati telah berupaya untuk memberi hadiah Natal kepada narapidana Indonesia, namun ditolak oleh para penjaga Belanda. Beberapa penduduk Casino kemudian mendirikan Komite Pembela Warga Indonesia dan menuntut penutupan kamp tersebut. 

Pada April 1946, 480 narapidana mulai melakukan demonstrasi. Para penjaga melepaskan tembakan, menewaskan seorang pengunjuk rasa dan melukai satu pemrotes lainnya. Menteri Imigrasi Australia Arthur Caldwell mengancam untuk mengusir para penjaga Belanda dan Belanda kemudian setuju untuk merepatriasi para narapidana ke Indonesia – walaupun atas biaya Pemerintah Australia. Para tentara ini menjadi sejumlah perwira militer yang paling kompeten di Republik Indonesia yang baru. 

Rasa terima kasih Indonesia atas dukungan Australia sungguh menyentuh hati. Presiden Sukarno menghargai posisi ‘pencinta-kemerdekaan’ yang diambil oleh gerakan buruh Australia. Komite Pusat Kemerdekaan Indonesia yang berkedudukan di Brisbane menulis;

Pengertian dan dukungan yang diberikan kepada kami oleh rakyat Australia tidak akan terlupakan, dan kami akan menyampaikan sejarah perjuangan kami di negeri anda ini kepada rakyat kami di tanah air. Kami berharap persahabatan antara kedua negara semakin kuat dan lestari demi kepentingan demokrasi. 

Dr. Sukarno’s ministers by Tony Rafty, c. 1945. National Library of Australia

Dr. Sukarno’s ministers by Tony Rafty, c. 1945. National Library of Australia, nla.obj-135836141, courtesy Andrew Rafty

Artist Tony Rafty met and became friends with President Sukarno. He annotated this image ‘Dr. Soekarno told his ministers to hold their pose while I sketched them’.

Para menteri Dr. Sukarno by Tony Rafty, c. 1945. Perpustakaan Nasional Australia, nla.obj-135836141, dengan izin dari Andrew Rafty

Seniman Tony Rafty bertemu dan bersahabat dengan Presiden Sukarno. Ia mencatat untuk lukisan ini bahwa ‘Dr. Soekarno meminta para menteri untuk menahan pose mereka sementara saya membuat sketsa mereka’. 

'The old order in Indonesia will not go on' 

(Australian Prime Minister Ben Chifley, 6 March 1946)

At first the Australian government welcomed the Dutch colonial administrators fleeing the Japanese in 1942. But many leading figures soon began to realise that de-colonisation was inevitable, and friendly co-existence with Asian nations would be important to Australia’s own national interests. This began to strain Dutch-Australian relations.

In July 1947 the Dutch armed forces began a military push against the Indonesian Republican Army in what was called a ‘police action’. This spurred widespread anti-Dutch protests in Australia. Newspapers began to report in favour of a self- governing Indonesia. University students demonstrated at the Netherlands Consulate.

The Chifley government boldly referred the First Police Action to the United Nations Security Council and stepped up aid to the Indonesian Republic. 

With the Second Police Action in December 1948, there was little Australian opposition to a complete boycott of Dutch goods and trade. While Dutch armed forces had gained control of much of Indonesia at the cost of tens of thousands of Indonesian lives, international condemnation of the Dutch forced them into negotiations. On 27 December 1949 the Dutch formally recognised Indonesian sovereignty.

'Pemerintahan Kolonial Belanda di Indonesia tak akan Berlanjut' 

Perdana Menteri Australia Ben Chifley, 6 Maret 1946

Pada awalnya pemerintah Australia menerima dengan baik para pegawai kolonial Belanda yang melarikan diri dari pasukan Jepang pada tahun 1942. Namun banyak tokoh terdepan segera mulai menyadari bahwa de-kolonisasi tidak terelakkan, dan hidup-berdampingan secara bersahabat dengan bangsa-bangsa Asia akan menjadi penting bagi kepentingan nasional Australia sendiri. Hal ini mulai merenggangkan hubungan Belanda-Australia.

Pada bulan Juli 1947 angkatan bersenjata Belanda mulai melakukan serangan militer melawan Tentara Republik Indonesia dalam apa yang disebut ‘Aksi Polisional’ (Agresi Militer Belanda). Ini mendorong protes anti-Belanda secara luas di Australia. Surat kabar mulai membuat laporan yang membela pemerintahan Indonesia mandiri. Mahasiswa berdemonstrasi di Konsulat Belanda. 

Pemerintah Chifley dengan tegas merujuk ke Aksi Polisional Pertama ke Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan meningkatkan bantuan kepada Republik Indonesia. 
Dengan Aksi Polisional Belanda yang kedua pada Desember 1948, hanya sedikit penolakan Australia atas boikot barang- barang dan perdagangan Belanda. Masyarakat Internasional mengutuk pendudukan angkatan bersenjata Belanda atas wilayah Indonesia yang mengorbankan ribuan jiwa rakyat Indonesia, Belanda dipaksa untuk berunding. Pada 27 Desember 1949 Belanda secara resmi mengakui kedaulatan Indonesia. 

By mid-1947 Indonesia’s struggle for independence and its support in Australia were making front page news. Sydney Morning Herald 26 July 1947. State Library of New South Wales

By mid-1947 Indonesia’s struggle for independence and its support in Australia were making front page news. 26 July 1947, Sydney Morning Herald. State Library of New South Wales

Pada pertengahan-1947 perjuangan kemerdekaan Indonesia dan dukungannya di Australia menjadi berita halaman depan. 26 Juli 1947, Sydney Morning Herald.  Perpustakaan Negara Bagian New South Wales 

Australian military observers being welcomed by Republican officers in Yogyakarta on 14 September 1947. National Library of Australia

NEXT

A friendship is born

Explore